Beranda | Artikel
Tafsir Surat At-Thariq - Tafsir Juz Amma
Kamis, 5 September 2019

Tafsir Surat At-Thariq

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA

Surat At-Thariq adalah surat makkiyah, dimana ayat-ayat dari surat ini diturunkan pada fase Mekkah sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke kota Madinah. Terdapat beberapa hadist yang menyebutkan tentang surat At-Thariq, diantaranya hadist yang menunjukan dengan tegas bahwa surat ini adalah Makkiyah, yaitu dari ‘Abdurrahman bin Khalid Al-‘Adwani dari bapaknya.

أَنَّهُ أَبْصَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَشْرِقِ ثَقِيفٍ، وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى قَوْسٍ، أَوْ عَصًا حِينَ أَتَاهُمْ يَبْتَغِي عِنْدَهُمُ النَّصْرَ، قَالَ: فَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ: وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ حَتَّى خَتَمَهَا، قَالَ: فَوَعَيْتُهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَنَا مُشْرِكٌ، ثُمَّ قَرَأْتُهَا فِي الْإِسْلَامِ، قَالَ: فَدَعَتْنِي ثَقِيفٌ فَقَالُوا: مَاذَا سَمِعْتَ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ؟ فَقَرَأْتُهَا عَلَيْهِمْ

Bahwasanya Khalid Al-‘Adwani melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Pasar Tsaqif beliau sedang berdiri sambil memegang tongkat atau busur Nabi mendatangi mereka (penduduk Thoif dari kabilah Tsaqif -pen) untuk meminta pertolongan kepada mereka. Kholid berkata, “Akupun mendengar Rasulullah membaca wassamai wat-thariq sampai selesai.” Dia berkata, ”Saya memahami surat tersebut pada zaman Jahiliyah sementara aku dalam kondisi musyrik, kemudian aku membacanya di saat sudah memeluk Islam.” Dia berkata: “Maka orang-orang Tsaqif memanggilku kemudian mereka bertanya, ‘Apa yang kau dengar dari orang ini (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)?’ Aku pun membaca wassamai wat-thariq. (HR Ahmad no 18958 dan At-Thobroni (al-Mu’jam al-Kabiir) no 4126, namun sanadnya lemah)

Ini adalah salah satu hadist yang menyebutkan tentang surat At-Thariq bahwasanya surat ini pernah dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapan orang-orang dan didengar oleh seorang musyrik kemudian dia menghafal surat ini. Dan kejadiannya adalah ketika Nabi pergi ke Thoif untuk meminta bantuan penduduk kota Thoif yaitu Qabilah Tsaqif, dan ini terjadi sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah.

Kisah ini juga menunjukkan bagaimana kuatnya hafalan orang-orang terdahulu, sekali mereka mendengarnya mereka akan langsung menghafalnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh ragu dengan hafalan para sahabat Nabi, karena mereka diberi kecerdasan luar biasa terutama dalam menghafalkan hadist-hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantara contohnya adalah sahabat Zaid bin Tsabit radhiyalahu ‘anhu yang mempelajari bahasa Yahudi dan bisa menguasainya kurang dari setengah bulan, menunjukkan kecerdasannya.

Hadits lain juga menunjukan bahwa Nabi membaca surat ini ketika sholat dhuhur dan ashar. Dari Jabir bin Samuroh :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ: وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ، وَشَبَهَهَا

‘’Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya membaca pada sholat dzhuhur dan ashar surat Al-Buruuj dan surat At-Thooriq, dan yang semisal keduanya’’ (HR Ahmad no 20982, At-Tirimidzi no 307, dan An-Nasaai no 979  sanadnya shahih li ghoirihi)

Allah berfirman pada ayat yang pertama:

  1. وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ

“Demi langit dan yang datang pada malam hari.”

Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir-tafsir surat sebelumnya, kita mengetahui bahwasanya langit adalah makhluk terbesar yang dapat kita saksikan secara kasat mata. Allah berfirman:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS Adz-Dzariyat : 47)

Oleh karena itu, tidak ada makhluk yang bisa kita saksikan yang lebih luas daripada langit. Di dalam naungan langit ada matahari, rembulan, bintang-bintang, menunjukkan betapa luasnya langit. Bahkan ujungnya saja tidak kita ketahui sampai dimana, dan semua manusia di ujung dunia bagian manapun bisa menyaksikan langit. Itulah diantara hikmah mengapa Allah sering bersumpah dengan langit karena langit adalah benda yang bisa diliat oleh seluruh makhluk dimanapun mereka berada.

Allah juga bersumpah dengan yang datang pada malam hari. الطَّارِقُ dalam bahasa arab bermakna اَلْإِتْيَانُ بِالَّيْلِ yaitu datang pada malam hari. Oleh karena itu, dijumpai penggunaan kosa kata ini dalam hadist-hadist Nabi. Disebutkan dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya.” (HR Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).

Hadist ini juga menunjukkan bahwasanya diantara sunnah pada zaman dahulu yaitu jika sang suami sedang bersafar kemudian ingin pulang maka hendaknya tidak pulang di malam hari, tetapi hendaknya ditunda di pagi hari karena zaman dahulu belum ada sms atau sarana komunikasi lainnya untuk memberitahu istrinya, hal ini agar istrinya yang ditinggal tersebut dapat mempersiapkan dirinya untuk bertemu suaminya dengan menyisir rambutnya dan menyukur bulu kemaluannya, yang hal ini dahulu biasanya dilakukan di pagi hari.

Para ulama berkata bahwasanya sunnah ini berlaku pada zaman dahulu, adapun sekarang sarana komunikasi sangat mudah, sehingga seorang suami bisa pulang kapan saja yang penting terlebih dahulu memberi tahu istrinya, agar dia mempersiapkan dirinya menyambut kedatangan suaminya dari safar.

Dalam hadist yang lain dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya.” (HR. Muslim no. 715).

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ

“Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?”

Allah memberi pertanyaan agar orang-orang memperhatikannya.

Allah berfirman:

  1. النَّجْمُ الثَّاقِبُ

“(yaitu) bintang yang bersinar tajam”

At-Thariq adalah bintang yang menembus. Bintang itu tidak muncul kecuali di malam hari, dan pada malam hari cahaya bintang menembus langit.

Pada awal ayat, Allah bersumpah dengan dua makhluk ciptaan-Nya. Dan demikianlah hak Allah, Allah bebas bersumpah dengan siapapun makhluknya yang Dia kehendaki. Berbeda dengan manusia yang tidak boleh bersumpah dengan makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik.” (HR Ibnu Abi Hatim)

Yang diperbolehkan bagi kita adalah bersumpah dengan Allah. Diantara yang diperbolehkan juga adalah bersumpah dengan sifat-sifat Allah. Seperti bersumpah dengan kalamullah, yaitu firman Allah Al-Quran, karena merupakan sifat Allah. Adapun bersumpah dengan selain Allah atau sifat-sifat-Nya maka ini merupakan kesyirikan. Berbeda pada Allah, Dia berhak bersumpah dengan apapun dari makhluk-Nya.

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ

“Setiap orang pasti ada penjaganya”

Tidak ada satu jiwa pun melainkan ada pencatat amalnya. Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir surat Al-Infithar bahwasanya setiap manusia diikuti oleh para malaikat yang mencatat amalan dia. Allah berfirman:

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (10)كِرَامًا كَاتِبِينَ (11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (12)

“(10) Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaika-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu); (11) Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu); (12) Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Infithar : 10-12)

Allah juga berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)

“(16)Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya; (17) (Ingatlah) Ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri; (18) Tidak ada satu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS Qaf : 16-18)

Terkait ayat 16 ini, para ulama mengatakan bahwasanya yang dimaksudkan dengan kata ‘Kami lebih dekat’’ adalah para malaikat yang lebih dekat dari urat nadinya. Sehingga malaikat mencatat segala sesuatu yang kita lakukan. Baik itu berupa perbuatan tubuh atau perkataan. Apa yang seseorang lakukan semuanya disaksikan oleh malaikat pencatat, walaupun dia bersendirian dan tidak ada manusia yang melihatnya. Demikian pula ketika seseorang hendak berbicara, hendaknya dia merenungkan dan memikirkan bahwasanya ucapannya itu pasti akan dicatat oleh malaikat. Padahal betapa banyak orang yang terjerumus ke dalam neraka jahannam gara-gara satu ucapan yang tidak dia pikirkan terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting, dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam.” (HR Bukhari no. 6478)

Apalagi ucapan-ucapan berbahaya yang menyangkut masalah aqidah. Terlebih sekarang sangat banyak pemikiran-pemikiran yang sesat yang dipropagandakan oleh orang-orang liberal. Perkataan-perkataan semacam semua agama adalah benar, semua agama bisa menjadi jalan masuk surga, ini adalah perkataan-perkataan kufur yang dilontarkan oleh orang-orang liberal.

Diantara hal yang kedudukannya seperti ucapan adalah tulisan. Apa yang kita tulis dalam internet, dalam laman media sosial semuanya dicatat oleh malaikat. Maka hendaknya kita tidak sembarangan dalam mencatat, menulis, dan mengambil kesimpulan kemudian kita sebarkan di dunia maya.

Dan kecepatan lisan itu lebih cepat dari pada kecepatan tubuh. Tubuh kita gerakannya hanya terbatas. Kita ingin memukul maka pukulannya terbatas, ingin menendang maka tendangannya terbatas. Ketika kita ingin mendzalimi orang dengan tangan atau dengan kaki kita, maka hal itu tidak bisa kita lakukan kecuali orang tersebut ada di hadapan kita. Berbeda ketika kita ingin mendzalimi orang lain dengan lisan kita. Bahkan ketika orangnya sudah mati pun bisa kita dzalimi dengan cara menisbatkan kepadanya ucapan-ucapan yang tidak benar. Dan manusia zaman sekarang, mereka sangat hobi berkomentar, demikianlah sifat dasar manusia. Manusia senangnya jadi komentator dalam segala hal, meskipun bukan bidangnya. Bahkan dalam masalah agama dia juga ikut berkomentar, padahal dia jahil tentang masalah agama. Seorang dokter ikut berkomentar masalah agama, ahli fisika dan ahli kimia yang tidak pernah menghafal ayat-ayat Allah, tidak mengetahui hadist-hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengerti bahasa arab kemudian hobinya berkomentar tentang masalah agama, sungguh ini merupakan perkara yang berbahaya. Semua orang pasti memahami bahwa apabila ada seorang ulama atau seorang ustadz yang pengetahuannya banyak dalam masalah agama, hafalannya terhadap Al-Quran dan hadist-hadist Nabi banyak, kemudian ikut nimbrung di ruang operasi berkomentar kepada ahli bedah maka ini adalah ulama yang bahlul, karena dia berbicara tidak pada tempatnya. Maka demikian juga sebaliknya, jika ada seorang yang bergelar Professor dalam bidang kedokteran, kemudian ikut nimbrung dalam masalah agama, maka ini berbahaya.

Selain perkataan dan perbuatan, diantara yang dicatat juga adalah amalan hati. Semua yang bergejolak di hati dicatat oleh malaikat. Seperti riya’, suudzon kepada Allah, hasad kepada saudaranya, semua akan dicatat oleh malaikat. Bahkan ketika seseorang berniat kebaikan, dicatat juga oleh para malaikat. Allah menjadikan malaikat mengetahui manusia yang sedang berniat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْـحَسَنَاتِ وَالسَّيِّـئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِـهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللّـهُ عَزَّوَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ

“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak.”

Seseorang yang berniat baik semata akan dicatat oleh Alah, meskipun dia tidak mengerjakannya terlebih lagi apabila dia mengerjakannya maka baginya pahal yang berlipat ganda. Hal ini menunjukkan luasnya karunia Allah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita berniat baik dan senantiasa melatih diri kita untuk berniat baik. Ketika kita melihat orang miskin namun kita tidak memiliki kecukupan harta untuk membantunya, maka minimal kita berniat akan membantunya ketika kelak memiliki harta. Yang seperti akan dicatat oleh Allah. Suatu saat jika kita telah terbiasa berniat baik, maka hal itu akan membawa kita untuk berbuat baik. Hal ini berbeda dengan orang yang berniat buruk. Kata Allah dalam kelanjutan hadist:

وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ؛ كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِهَـا فَعَمِلَهَا ، كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

“Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR Bukhari no. 6491 dan Muslim no. 131 (207))

Ini adalah dalil bahwasanya masalah niat juga dicatat oleh para malaikat. Oleh karena itu, ketika mengetahui bahwa para malaikat mengetahui apa yang kita lakukan, maka hendaknya kita berhati-hati. Karena sesungguhnya yang mengisi buku catatan amal kita hakikatnya adalah kita sendiri, para malaikat hanya mencatatnya. Semua isi catatan berupa ucapan kita, perbuatan kita, isi hati kita, merupakan data dari kita yang disetorkan kepada malaikat. Pada hari kiamat kelak kita akan melihat hasil catatan amal kita.

Kemudian Allah berfirman:

  1. فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ

“Maka hendaknya manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan”

  1. خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ

“Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar”

  1. يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Yang keluar dari antara tulang punggung dan tulang dada”

Ayat-ayat ini adalah peringatan dari Allah untuk para manusia agar tidak lupa diri. Surat At-Thariq adalah surat Makiyah yang mana diturunkan untuk orang-orang musyrikin arab. Mereka mengakui adanya Allah tetapi mereka mengingkari hari kebangkitan. Seakan-akan Allah menyindir mereka, apa yang telah membuat mereka sombong sehingga mereka mengingkari hari kebangkitan. Sehingga Allah menyuruh mereka merenungkan darimana mereka diciptakan, yaitu dari air mani yang terpancarkan. Allah berfirman:

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (QS As-Sajdah : 8)

أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina (QS Al-Mursalaat : 20)

Mengapa manusia sombong padahal mereka hanya diciptakan dari air mani yang hina. Bagaimana manusia bisa sombong sementara dia keluar dari saluran kencing dua kali.

Hasan Al-Basri pernah mengatakan,

كَيْفَ يَتَكَبَّرُ مَنْ خَرَجَ مِنْ سَبِيلِ الْبَوْلِ مَرَّتَيْنِ

“Bagaimana bisa sombong orang yang keluar dari jalur air kencing sebanyak 2 kali” (Tafsir Al-Qurthubi 19/218).

Pertama dia keluar dari kemaluan ayahnya berupa air mani dan kedua ketika dilahirkan dia keluar dari kemaluan ibunya tempat keluarnya air kencing, tetapi dia masih saja sombong dan congkak hingga tidak mau beribadah kepada Allah Subhanallahu Wata’ala.

Dia diciptakan dari air mani yang hina dan terpancarkan agar dia tidak lupa diri dan hendaknya dia mengingat pula bahwasanya  Allah mampu menciptakan dia dari air mani. Sehingga dia sadar bahwa sebelumnya dia bukanlah apa-apa. Dia hanya tercipta dari air mani (sperma) yang kemudian membuahi sel telur seorang wanita kemudian terjadi proses penciptaan manusia.

Air mani, air madzi, air wadi

Dalam ilmu fikih dikenal 3 air yang keluar dari dzakar/kemaluan lelaki yaitu air mani, air madzi, dan air wadi. Pertama, air mani adalah air yang keluar dengan cara memancar disertai dengan kelezatan. Setelah itu dia akan merasakan kelesuan. Barangsiapa yang keluar air mani maka dia telah terkena hadast besar, sehingga dia wajib mandi jika ingin melaksanakan shalat. Namun air mani itu sendiri tidaklah najis.

Kedua, air madzi adalah air yang keluar juga karena kelezatan namun tidak disertai dengan pancaran, misalnya ketika seseorang sedang bercumbu dengan istrinya atau sedang mengkhayalkan hal-hal yang menimbukan syahwat, sehinggga keluarlah air tersebut. Air ini tidak tidak menjadikan junub atau tertimpa hadast besar, tetapi membatalkan wudhu. Air mani itu sendiri -menurut jumhur ulama- adalah najis namun ini tidak menjadikan junub, akan tetapi membatalkan wudhu. Seseorang yang ingin shalat terlebih dahulu harus membersihkan kemaluannya tanpa harus mandi. Dalam sebuah hadist dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.

 “Saya adalah lelaki yang sering keluar madzi. Aku malu untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena posisi putrinya sebagai istriku. Lalu aku suruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Cuci kemaluannya, dan ulangi wudhunya.” (HR. Ahmad 616, Bukkhari 269, dan Muslim 721)

Ini menunjukkan bahwasanya air madzi tidak membuat janabah (hadast besar) tapi sekedar membatalkan wudhu.

Kemudian ketiga, air wadi yaitu air yang keluar menjelang atau setelah seseorang buang air kecil, yaitu cairan yang agak lengket, baik sebelum buang air kecil atau setelah buang air kecil. Air ini membatalkan wudhu dan hukumnya juga najis karena keluar sebelum dan sesudah air kencing keluar, sehingga hukumnya seperti air kencing.

Intinya Allah ingin mengingatkan bahwasanya manusia hanyalah diciptakan dari air mani yang hina yang keluar terpancarkan agar mereka tidak angkuh. Manusia juga tidak lebih hebat dari peciptaan langit dan bumi. Allah berfirman:

أَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ ۚ بَنَاهَا

“Apakah penciptaan kalian lebih hebat ataukah langit yang telah dibangun-Nya?” (QS An-Nazi’at : 27)

Tentu saja jawabannya tidak. Sesungguhnya penciptaan langit itu lebih hebat dari penciptaan manusia. Betapa kecilnya manusia dibandingkan langit. Allah berfirman:

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Sungguh penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ghafir : 57)

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِنَّهُ عَلَىٰ رَجْعِهِ لَقَادِرٌ

“Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya”

Surat At-Thariq diturunkan untuk kaum musyrikin Arab yang mengingkari hari kebangkitan. Maka Allah ingin mengingatkan sebagaimana Allah mampu menciptakan manusia dari air mani, Allah lebih mudah untuk membangkitkan manusia kembali dari kematiannya. Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ ۚ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ar-Rum : 27)

Secara logika dan realita semua mengerti bahwasanya mengulangi sesuatu itu lebih mudah daripada ketika membuatnya pertama kali. Oleh karena itu, Allah membuat contoh seperti itu agar manusia menggunakan otaknya untuk merenungkannya. Namun bagi Allah semuanya mudah dan sama mudahnya.

Tentang tafsir ayat ini, ada 4 pendapat sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Jarir At-Thobari. Pendapat pertama, kata ‘mengembalikannya’ kembali kepada air mani, yaitu Allah mampu mengembalikan air mani setelah terpancarkan. Kata orang, kalau air susu sudah keluar dari putingnya maka tidak mungkin dikembalikan, begitupun dengan air mani kalau sudah keluar dari kemaluan maka tidak mungkin dikembalikan. Bagi manusia mustahil, tetapi Allah kuasa untuk mengembalikan itu semua, Allah mampu untuk mengembalikan air mani yang sudah terpancarkan masuk kembali ke dalam kemaluan.

Pendapat kedua, yaitu Allah mampu mengembalikan manusia kembali menjadi air mani jika Allah berkehendak.

Pendapat ketiga, yaitu Allah mampu mengembalikan manusia dari kondisi tua kepada kondisi muda, dari kondisi muda kepada kondisi anak-anak.

Pendapat keempat, yaitu Allah mampu untuk membangkitkan kembali manusia. (Lihat Tafsir At-Thobari 24/297-299). Pendapat keempat inilah yang lebih tepat dilihat dari konteks pembicaraan yaitu tentang hari kebangkitan. Dan pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari.

Pada hari kiamat kelak, yang paling utama adalah masalah hati. Allah bermuamalah dengan hamba-hamba-Nya terutama di atas apa yang ada dalam hati mereka. Berbeda ketika kita di dunia, kebanyakan muamalah kita adalah tergantung kepada dzahirnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bermuamalah dengan orang-orang  munafik melihat dzahirnya, padahal di dalam diri mereka ada kekufuran. Adapun di akherat maka muamalah Allah paling utama adalah masalah hati. Allah berfirman:

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)

“(88) (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna; (89) Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’ara : 88-89)

Kemudian Allah berfirman:

  1. يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ

“Pada hari ditampakkan segala rahasia”

Pada hari kiamat kelak semua rahasia akan terbuka dan terbongkar, tidak ada rahasia yang tersembunyi pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, hendaknya kita juga memperhatikan masalah hati kita di samping amalan jawarih (anggota badan), diantaranya berupa masalah keikhlasan, masalah qana’ah, masalah beriman kepada takdir, maka masalah hati ini adalah perkara yang sangat penting. Karena sangat berpengaruh terhadap amalan kita di dunia dan di akherat kelak tatkala yaumul hisab, hari kebangkitan. Kebanyakan orang begitu perhatian dengan amalan dzhohir namun kurang memperhatikan amalan hati, padahal amalan hati lebih penting dari amalan dzohir.

Kemudian Allah berfirman:

  1. فَمَا لَهُ مِن قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ

“Maka manusia tidak lagi mempunyai suatu kekuatan dan tidak (pula) ada penolong”

Seseorang yang akan diazab oleh Allah maka dia tidak akan bisa menolak azab tersebut, dan juga tidak ada orang lain yang bisa menolong dia. Tidak ada kekuatan dari dirinya dan tidak pula dari orang lain. Allah berfirman:

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (QS Al-Mu’minun : 101)

Bagaimana seorang ayah dan ibu akan menolong anaknya atau sebaliknya -jika telah ditetapkan masuk neraka-, sementara pada hari kiamat satu sama lain akan lari saling meninggalkan. Allah berfirman:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (34) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (35) وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (36)

“(34) Pada hari itu manusia lari dari saudaranya; (35) dan dari ibu dan bapaknya; (36) dan dari istri dan anak-anaknya.” (QS ‘Abasa : 34-36)

Oleh karena itu, ingatlah bahwasanya yang akan menolong kita adalah amalan kita. Jangan pernah berharap kepada orang lain. Karenanya, dijumpai sebagian orang yang terlalu berlebihan terhadap orang shaleh di sekitarnya. Mereka menganggap bahwasanya orang-orang shaleh tersebut akan menolongnya di akhirat. Dia sengaja mendekati orang-orang shaleh yang merupakan keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika cucu Nabi tersebut ridha maka mereka menganggap dirinya akan selamat di akhirat. Namun ini adalah pemahaman yang tidak benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja bersabda mengatakan kepada putrinya:

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206)

Padahal ini adalah perkataan Nabi kepada putrinya yang sangat dia cintai. Sehingga masing-masing orang itu bersama dengan amalannya. Nabi Ibrahim ‘alayhissalam tidak bisa menolong ayahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa menolong ayahnya, ibunya, dan pamannya. Oleh karena itu, tidak ada namanya ajaran agama yang bisa mengobral keselamatan sebagaimana apa yang diajarkan oleh sebagian tareqat-tareqat yang mengobralkan surga, mereka berpemahaman apabila Syaikhnya ridha maka mereka akan selamat. Dan ini adalah pemahaman yang keliru. Hendaknya seseorang berusaha mencari keselamatan dengan amalannya masing-masing.

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ

“Demi langit yang mengandung hujan”

Dikatakan الرَّجْعِ karena hujan itu berulang-ulang, sebagaimana dalam ilmu fisika bahwasanya air itu turun kemudian akan kembali lagi ke langit. Sehingga disebut dengan berulang-ulang.

Kemudian Allah berfirman:

  1. وَالْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ

“Dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan”

Yang dimaksud dengan الصَّدْعِ adalah التَّشَقُّقُ dan الاِنْفِطَار, yaitu terbelahnya tanah karena keluarnya tumbuhan ke atas.

Maksud dari ayat-ayat ini adalah langit menurunkan hujan sehingga tercurahkan kepada tanah yang mati dan tandus, lalu tanah tersebut hidup kembali dengan keluarnya tetumbuhan pada tanah-tanah tersebut.

Maka demikianlah pula hari kebangkitan, mudah bagi Allah membangkitkan kembali jasad-jasad yang telah mati sebagaimana mudahnya bagi Allah untuk menghidupkan kembali tanah yang telah tandus.

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ

“Sungguh (Al-Quran) itu benar-benar firman pemisah (antara yang haq dan yang batil)”

  1. وَمَا هُوَ بِالْهَزْلِ

“Dan (Al-Quran) itu bukanlah senda gurauan”

Al-Quran adalah pemutus dan pembeda antara yang haq dan bathil. Apabila sudah datang ayat dari Allah maka kewajiban kita adalah menerimanya. Apabila sudah ada ayat, sudah ada hadist, maka seluruh perkataan manusia harus kita buang. Kita harus mendahulukan perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Seluruh isi kandungan al-Qur’an adalah serius dan tiak ada yang merupakan senda gurau semata. Maka ini merupakan bantahan kepada kaum musyrikin yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu yang dibacakan oleh Nabi untuk bercanda dan bersenda gurau.

Kemudian Allah berfirman:

  1. إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا

“Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat”

  1. وَأَكِيدُ كَيْدًا

“Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu”

Patut diketahui bahwasanya tidak boleh mengatakan Allah Maha Pembuat Tipu Daya, karena tidak boleh kita menisbatkan sifat tipu daya yang permanen kepada Allah. Namun Allah terkadang membuat tipu daya kepada orang yang membuat tipu daya. Bentuk-bentuk seperti ini banyak terdapat dalam Al-Quran. Allah berfirman:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (15)

“(14) Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.”; (15) Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS Al-Baqarah : 14-15)

Allah mengejek mereka. Namun Allah tidak mempunyai nama Maha Mengejek. Dalam ayat yang lain disebutkan bahwasanya Allah memberi makar kepada orang yang berbuat makar. Allah berfirman:

وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS Ali ‘Imran : 54)

Sehingga sifat makar, sifat mengejek, sifat berbuat tipu daya dan selainnya, tidak boleh dinisbahkan kepada Allah begitu saja. Tetapi kita katakan Allah bisa berbuat tipu daya kepada orang yang berbuat tipu daya, Allah bisa berbuat makar kepada orang yang berbuat makar, Allah bisa mengejek orang-orang yang mengejek.

Kemudian Allah berfirman:

  1. فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا

“Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir. Berilah mereka kesempatan untuk sementara waktu”

Oleh karena itu, orang-orang kafir berbuat kerusakan di dunia sehingga akan datang azab kepada mereka, baik di dunia maupun di akherat kelak. Dan bagaimanapun mereka akan meninggal dunia lalu masuk dalam alam akhirat. Kehidupan mereka yang sekarang ini hanyalah penangguhan yang sangat sebentar sebelum datang adzab yang kekal abadi.

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/3543-tafsir-surat-at-thariq-tafsir-juz-amma.html